Pusat Budaya Jepang
Kalau ingin lihat pusat kebudayaan Jepang yang
sebenarnya, datanglah ke Kyoto. Kota ini sarat puluhan kuil cantik dan
monumen peninggalan Jepang.
Kyoto selalu indah sepanjang tahun,
salju saat musim dingin, mekarnya bunga Sakura di musim semi,
bukit-bukit yang sejuk di musim panas, dan pemandangan warna-warni daun
musim gugur.
Kota Kyoto bentuknya berbukit-bukit karena
dikelilingi gunung-gunung di empat penjuru angin. Kyoto semakin indah
dengan Sungai Kamo di sebelah timur dan Sungai Katsura yang meliuk-liuk
di sebelah selatan.
Sebagai wilayah cagar budaya dan seni Jepang,
bila sempat ke negeri sakura ini, tak dimungkiri saya harus berkunjung
ke Kyoto. Kota ini letaknya mengarah ke selatan dari Tokyo.
Transportasi
yang saya pilih untuk menuju Kyoto adalah kendaraan modern yang
canggih, kereta supercepat Shinkansen. Biaya sekali perjalanan dari
Tokyo ke Kyoto sebesar 15.000 yen. Jarak tempuh dengan menggunakan
Shinkansen adalah 2 jam 15 menit.
Kereta ini bentuk dan
kenyamanan interiornya seperti pesawat terbang. Selama perjalanan,
kecepatannya stabil seolah-olah tidak menyentuh rel kereta di bawahnya.
Tepat
pukul 07.00 pagi hari saya berangkat menuju Kyoto dari Central Station
Tokyo di pusat kota. Selama perjalanan, hanya sekali berhenti di Stasiun
Kereta Osaka. Ketepatan waktu menjadi ciri khas transportasi supercepat
ini.Di
Stasiun Kereta Kyoto waktu menunjukkan tepat pukul 09.20.
Stasiun Kereta Api Kyoto merupakan pusat transportasi untuk seluruh
kota. Stasiun ini merupakan stasiun kereta api terbesar kedua di Jepang.
Stasiun ini dilengkapi pusat perbelanjaan (yang paling besar adalah
ISETAN), hotel, bioskop, dan beberapa bagian dari kantor pemerintahan
lokal. Semuanya terletak di satu atap dalam bangunan setinggi 15 lantai.
Saya selanjutnya naik taksi ke Mitsui Garden Hotel di tengah Kota Kyoto. Selepas check in
dan meninggalkan koper, saya langsung keluar mencari taksi untuk
mengunjungi kuil di kota ini yang terkenal cantik, luas, dan terkenal
akan sejarah kerajaan di Jepang.
Kuil pertama yang saya kunjungi
adalah pusat pemerintahan dan kebudayaan Jepang ketika Shogun ke-1
berkuasa, Tokugawa, yaitu Istana Nijo. Kekuasaan Tokugawa berakhir
ketika memasuki Restorasi Meiji.
Harga tiket masuk ke Istana Nijo
sebesar 600 yen. Istana ini ditetapkan sebagai harta benda nasional.
Karena itu, bagi pengunjung, sangat ditekankan untuk menjaga ketertiban
agar tidak merusak peninggalan kebudayaan Jepang yang dianggap sakral
tersebut. Sebelum memasuki pintu utama, saya akan menyeberang jembatan
yang di bawahnya terdapat sungai yang sengaja dibangun mengelilingi
seluruh dinding Istana.
Luas istana ini sangat besar karena
halaman depannya saja sangat jauh untuk mencapai bangunan utama istana.
Di dalam bangunan utama istana, para pengunjung tidak diperkenankan
untuk mengambil foto ataupun gambar.
Di dalam bangunan yang
sebagian besar terbuat dari kayu, tampak kokoh dan menunjukkan ciri khas
dari kekuasaan dari para Shogun Jepang. Patung-patung Shogun yang
berkuasa juga berdiri tegak dengan baju kebesarannya di beberapa ruangan
yang menunjukkan aktivitas kaisar ketika itu.
Kunjungan ke
Istana Nijo yang demikian luas akan menghabiskan waktu hingga sore hari
di mana para pengunjung tidak diperkenankan lagi untuk masuk.
Keesokan
harinya saya mengunjungi kuil unik lainnya di Kyoto yang terkenal
dengan kuil emasnya. Kuil itu dikenal dengan sebutan Kinkakuji. Kuil ini
dikelilingi seperti danau dan taman yang indah sekali sehingga terkesan
sangat sejuk ketika mengunjungi kuil yang konon memang dindingnya
terbuat dari emas.
Kuil Kinkakunji disebut juga Golden Pavilion
Temple dibangun pada tahun 1397 sebagai vila bagi seorang shogun. Kuil
ini terdiri atas tiga tingkat. Terdapat pulau dan batu-batuan pada danau
kecil yang mengelilinginya sebagai simbol sejarah Buddha.
Keunikan
kuil di tengah danau ini, setiap lantainya dibuat dalam gaya arsitektur
yang berbeda. Lantai dasar disebut Ruang TirtaDharma (The Chamber of Dharma Water)
yang digambarkan sebagai gaya Shinden. Lantai pertama dalam bahasa
Jepang disebut Hosui-in yang sering digunakan sebagai ruang pertemuan,
bentuknya berupa ruangan luas dengan beranda di sekelilingnya.
Beranda
itu berada di bawah naungan lantai kedua dan interiornya dipisahkan
oleh ventilasi tertutup yang disebut Shitomido. Shitomido tersebut hanya
mencapai separuh langit- langit sehingga cahaya dan udara dapat bebas
keluar masuk bangunan. Lantai kedua disebut Menara Alunan Ombak (The Tower of Sound Waves)
yang lazim ditemui pada rumah-rumah bergaya Samurai. Ruangan ini sangat
kental dengan suasana Buddhis, yang menampilkan gaya Shoinzukuri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar