Kamis, 14 Juni 2012

Pusat Budaya Jepang

Kalau ingin lihat pusat kebudayaan Jepang yang sebenarnya, datanglah ke Kyoto. Kota ini sarat puluhan kuil cantik dan monumen peninggalan Jepang.

Kyoto selalu indah sepanjang tahun, salju saat musim dingin, mekarnya bunga Sakura di musim semi, bukit-bukit yang sejuk di musim panas, dan pemandangan warna-warni daun musim gugur.

Kota Kyoto bentuknya berbukit-bukit karena dikelilingi gunung-gunung di empat penjuru angin. Kyoto semakin indah dengan Sungai Kamo di sebelah timur dan Sungai Katsura yang meliuk-liuk di sebelah selatan.

Sebagai wilayah cagar budaya dan seni Jepang, bila sempat ke negeri sakura ini, tak dimungkiri saya harus berkunjung ke Kyoto. Kota ini letaknya mengarah ke selatan dari Tokyo.

Transportasi yang saya pilih untuk menuju Kyoto adalah kendaraan modern yang canggih, kereta supercepat Shinkansen. Biaya sekali perjalanan dari Tokyo ke Kyoto sebesar 15.000 yen. Jarak tempuh dengan menggunakan Shinkansen adalah 2 jam 15 menit.

Kereta ini bentuk dan kenyamanan interiornya seperti pesawat terbang. Selama perjalanan, kecepatannya stabil seolah-olah tidak menyentuh rel kereta di bawahnya.

Tepat pukul 07.00 pagi hari saya berangkat menuju Kyoto dari Central Station Tokyo di pusat kota. Selama perjalanan, hanya sekali berhenti di Stasiun Kereta Osaka. Ketepatan waktu menjadi ciri khas transportasi supercepat ini.Di

Stasiun Kereta Kyoto waktu menunjukkan tepat pukul 09.20. Stasiun Kereta Api Kyoto merupakan pusat transportasi untuk seluruh kota. Stasiun ini merupakan stasiun kereta api terbesar kedua di Jepang. Stasiun ini dilengkapi pusat perbelanjaan (yang paling besar adalah ISETAN), hotel, bioskop, dan beberapa bagian dari kantor pemerintahan lokal. Semuanya terletak di satu atap dalam bangunan setinggi 15 lantai.

Saya selanjutnya naik taksi ke Mitsui Garden Hotel di tengah Kota Kyoto. Selepas check in dan meninggalkan koper, saya langsung keluar mencari taksi untuk mengunjungi kuil di kota ini yang terkenal cantik, luas, dan terkenal akan sejarah kerajaan di Jepang.

Kuil pertama yang saya kunjungi adalah pusat pemerintahan dan kebudayaan Jepang ketika Shogun ke-1 berkuasa, Tokugawa, yaitu Istana Nijo. Kekuasaan Tokugawa berakhir ketika memasuki Restorasi Meiji.

Harga tiket masuk ke Istana Nijo sebesar 600 yen. Istana ini ditetapkan sebagai harta benda nasional. Karena itu, bagi pengunjung, sangat ditekankan untuk menjaga ketertiban agar tidak merusak peninggalan kebudayaan Jepang yang dianggap sakral tersebut. Sebelum memasuki pintu utama, saya akan menyeberang jembatan yang di bawahnya terdapat sungai yang sengaja dibangun mengelilingi seluruh dinding Istana.

Luas istana ini sangat besar karena halaman depannya saja sangat jauh untuk mencapai bangunan utama istana. Di dalam bangunan utama istana, para pengunjung tidak diperkenankan untuk mengambil foto ataupun gambar.

Di dalam bangunan yang sebagian besar terbuat dari kayu, tampak kokoh dan menunjukkan ciri khas dari kekuasaan dari para Shogun Jepang. Patung-patung Shogun yang berkuasa juga berdiri tegak dengan baju kebesarannya di beberapa ruangan yang menunjukkan aktivitas kaisar ketika itu.

Kunjungan ke Istana Nijo yang demikian luas akan menghabiskan waktu hingga sore hari di mana para pengunjung tidak diperkenankan lagi untuk masuk.

Keesokan harinya saya mengunjungi kuil unik lainnya di Kyoto yang terkenal dengan kuil emasnya. Kuil itu dikenal dengan sebutan Kinkakuji. Kuil ini dikelilingi seperti danau dan taman yang indah sekali sehingga terkesan sangat sejuk ketika mengunjungi kuil yang konon memang dindingnya terbuat dari emas.

Kuil Kinkakunji disebut juga Golden Pavilion Temple dibangun pada tahun 1397 sebagai vila bagi seorang shogun. Kuil ini terdiri atas tiga tingkat. Terdapat pulau dan batu-batuan pada danau kecil yang mengelilinginya sebagai simbol sejarah Buddha.

Keunikan kuil di tengah danau ini, setiap lantainya dibuat dalam gaya arsitektur yang berbeda. Lantai dasar disebut Ruang TirtaDharma (The Chamber of Dharma Water) yang digambarkan sebagai gaya Shinden. Lantai pertama dalam bahasa Jepang disebut Hosui-in yang sering digunakan sebagai ruang pertemuan, bentuknya berupa ruangan luas dengan beranda di sekelilingnya.

Beranda itu berada di bawah naungan lantai kedua dan interiornya dipisahkan oleh ventilasi tertutup yang disebut Shitomido. Shitomido tersebut hanya mencapai separuh langit- langit sehingga cahaya dan udara dapat bebas keluar masuk bangunan. Lantai kedua disebut Menara Alunan Ombak (The Tower of Sound Waves) yang lazim ditemui pada rumah-rumah bergaya Samurai. Ruangan ini sangat kental dengan suasana Buddhis, yang menampilkan gaya Shoinzukuri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar